YOUR TIME IS RUNNING OUT....

Wednesday, October 24, 2007

Papa Paling Keren Sejagat...

Usianya 50 tahun waktu aku lahir, dan dia adalah “Pak Ibu” bagiku. Aku tak tahu kenapa dia yang ada di rumah, bukannya Mama, tapi aku masih kecil dan satu-satunya diantara temanku yang masih memiliki ayah. Aku menganggap diriku sangat beruntung.
Papa melakukan banyak hal untukku selagi aku masih SD. Ia meyakinkan supir bis sekolah untuk menjemputku di rumah, bukannya di halte bis biasa yang enam blok jauhnya. Ia selalu sudah menyiapkan makan siang waktu aku pulang –biasanya roti pakai selai kacang dan jelly yang dibentuk sesuai dengan musimnya. Kesukaanku adalah waktu natal. Rotinya ditaburi gula hijau dan dipotong seperti bentuk pohon.
Ketika aku makin besar dan mencoba meraih kemandirianku, dan aku ingin menjauhi tanda cintanya yang “kekanak-kanakan” itu. Tapi, ia tak mau menyerah. Waktu aku masuk SLTA dan tak bisa lagi pulang untuk makan siang, aku mulai membawa makanan sendiri. Papa bangun lebih pagi sedikit dan membuatkannya untukku. Aku tak pernah tahu apa yang akan dibuatnya. Bagian luar kantungnya bisa ditutupi dengan lukisan gunung (yang menjadi ciri khasnya) atau sebuah hati yang ditulisi “Papa and Angie K.K” di tengahnya. Di dalam pasti ada serbet bergambar hati yang sama atau tulisan “Papa Sayang kamu.” Seringkali ia menulis lelucon atau teka-teki, seperti “Kenapa permen disebut popsicle bukannya momsicle?” Ia selalu punya peribahasa konyol yang membuatku tersenyum dan membuatku tahu bahwa ia mencintaiku.
Aku biasa menyembunyikan makan siangku supaya tak ada orang yang melihat kantungnya atau membaca serbetnya, tapi itu tak berlangsung lama. Salah seorang temanku melihat serbetnya suatu hari, merebutnya, dan mengoperkannya ke seluruh ruang makan. Wajahku merah padam karena malu. Herannya, keesokan harinya semua temanku menunggu untuk melihat serbetnya. Dari cara mereka bertingkah, kurasa mereka semua ingin memiliki seseorang yang menunjukkan jenis cinta seperti itu kepada mereka. Aku bangga sekali akan Papa. Selama tahun-tahun berikutnya kala aku SLTA, aku menerima semua serbet itu, dan masih menyimpan sebagian besar dari semua serbet itu.
Dan itu masih belum usai. Waktu aku pergi dari rumah untuk kuliah (pergi yang paling akhir), kusangka pesan-pesan itu akan berhenti. Tapi aku dan teman-temanku merasa gembira karena kebiasaan Papa terus berlanjut.
Aku rindu bertemu dengan ayahku waktu pulang sekolah setiap hari, jadi aku sering meneleponnya. Rekening teleponku jadinya cukup tinggi. Tidak peduli apa yang kami omongkan; aku hanya ingin mendengar suaranya. Kami memulai suatu ritus pada tahun pertama itu dan terus berlanjut. Setelah aku mengucapkan salam, ia selalu berkata, “Angie?”
“Ya, Pa?” aku menyahut.
“Papa sayang kamu.”
“Aku juga sayang Papa.”
Aku mulai mendapatkan surat hampir setiap hari Jumat. Staf di meja depan selalu tahu darimana surat-surat itu berasal –alamat pengirim ditulis “Si Ganteng.” Sering Amplopnya ditulis dengan krayon, dan bersama surat itu ia biasanya melampirkan gambar kucing dan anjing kami, gambar dirinya dan Mama, dan jika aku pulang akhir minggu sebelumnya, dilampirkan aku sedang berjalan-jalan keliling kota bersama teman dan memakai rumah sebagai tempat perhentian. Ia juga menggambar lukisan gunung dan tulisan berlingkaran hatinya, Papa n Angie K.K.
Surat dikirimkan setiap hari sebelum makan siang; jadi, aku selalu membawa suratnya pada saat aku pergi ke kafetaria. Aku sadar bahwa menyembunyikan surat itu percuma saja karena teman sekamarku adalah teman se-SLTA yang tahu tentang serbet Papa. Sebentar saja, kebiasaan itu menjadi ritus Jumat siang. Aku membaca suratnya, lalu tulisan dan amplopnya akan dioper-operkan.
Pada masa inilah Papa diserang kanker. Waktu suratnya tidak tiba pada suatu Jumat, aku tahu ia sakit dan tak sanggup menulis surat untukku. Ia biasa bangun jam 4 pagi supaya ia bisa duduk dalam rumah yang sepi untuk bisa menulis suratnya. Kalau ia absent mengirim hari Jumat, suratnya biasanya akan tiba satu atau dua hari setelahnya. Yang pasti suratnya selalu tiba. Teman-temanku biasa memanggilnya “Papa Paling Keren Sejagat.” Dan suatu hari mereka mengiriminya sebuah kartu, memberikan julukan itu, ditandatangani oleh mereka semua. Aku percaya ia mengajarkan pada kami segalanya tentang cinta seorang ayah. Aku tak akan kaget ketika teman-temanku mulai mengirimi serbet ke anak-anak mereka. Papa telah meninggalkan kesan yang akan tetap hidup bersama mereka dan memberikan inspirasi pada mereka untuk menyampaikan ungkapan cinta kepada anak-anak mereka sendiri.
Selama empat tahun aku kuliah, surat dan telepon datang pada jangka waktu teratur. Tapi tiba saatnya waktu aku memutuskan utnuk pulang dan menemaninya karena sakitnya semakin parah, dan aku tahu bahwa waktu kami bersama-sama memang terbatas. Itulah hari-hari yang paling sulit dilalui. Melihat lelaki ini, yang selalu bertingkah begitu muda, bertambah tua melampaui usianya. Pada akhirnya ia tak mengenali siapa aku dan akan memanggilku dengan nama saudara yang bertahun-tahun tidak dilihatnya. Meskipun aku tahu itu karena penyakitnya, hatiku tetap sakit karena ia tak bisa mengingat namaku.
Aku sendirian dengannya di kamar rumah sakit dua hari sebelum meninggal. Kami berpegangan tangan dan menonton TV. Waktu aku bersiap untuk pergi, ia berkata, “Angie?”
“Ya, Pa?”
“Papa sayang kamu.”
“Aku juga sayang Papa.”
Untuk semua Papa dan calon Papa dimanapun kau berada... especially untuk Papa dari Pak Yimmy yang juga sedang sakit... Berjuanglah Untuk Papa-Papa dan Mama-Mama Anda... Diamond or Die!!!

No comments: